Senin, 25 April 2011

KUMPULAN ASUHAN KEPERAWATAN: Askep Tonsilofaringitis Akut

KUMPULAN ASUHAN KEPERAWATAN: Askep Tonsilofaringitis Akut: "ASUHAN KEPERAWATAN TONSILOFARINGITIS AKUT BAB II TINJAUAN TEORI A. DEFINISI Tonsilofaringitis akut adalah peradangan pada tonsil dan fari..."

Rabu, 20 April 2011

Peralatan kesehatan salah satu penyebar penting virus hepatitis B.

Ruang fasilitas kesehatan yang seharusnya steril ternyata menjadi medium yang penting bagi penularan penyakit hepatitis B. Penularan virus hepatitis B dari pasien ke pasien bisa terjadi akibat penggunaan peralatan kesehatan yang dianggap telah bebas dari resiko penularan.

Kesimpulan itu termuat dalam laporan penelitian ilmuwan asal Instituto Nazionale per le Malattie Infettive Lazzaro Apalanzani, Roma, Italia. Dalam laporan yang dimuat jurnal BMC Medicine April ini, para ilmuwan menunjukkan penularan melalui penggunaan peralatan kesehatan menjadi satu penyebab umum terjangkitnya virus hepatitis B.

Kesimpulan ini didapat setelah para peneliti mengamati 30 hasil penelitian kesehatan yang menjelaskan informasi mengenai penularan 33 kasus hepatitis B, yang melibatkan 471 pasien dan 16 kasus fatal.
Sebanyak 16 dari 33 penularan terjadi di negara Uni Eropa dan 17 sisanya di Amerika. Tidak ada perbedaan mendasar dalam tolok ukur epidemiologi di dua wilayah itu. Sebagian besar penularan bermula dari pasien yang telah terinfeksi oleh satu atau lebih kondisi umum yang menyebabkan beberapa tingkatan imunodepressan.
Ketua tim peneliti Simone Lanini mengatakan HBV merupakan penyebab utama dari penyakit liver kronis yang terjadi di negara berkembang. Virus hepatitis B, kata dia, sudah lama diketahui bisa menular melalui peralatan kesehatan yang digunakan di rumah sakit. �Itu sangat berbahaya. Dan faktanya beberapa kasus penularan melalui peralatan kesehatan dilaporkan selalu mengalami peningkatan setiap tahun di Amerika dan Uni Eropa,� kata Lanini.
Hasil penelitian yang dilakukan tim Lanini menyoroti beberapa faktor topikal. �Kami melihat unit peralatan sebagai penyebab menjadi faktor yang paling tinggi yaitu 10 dari 33 kasus, dan penularan seperti itu merupakan satu-satunya penularan dengan jangka waktu terpendek,� kata Lanini yang juga pernah melakukan sebuah kajian sistematis terhadap pola penyebaran virus hepatitis B antara tahun 1992 sampai 2007 di Uni Eropa dan Amerika.
Peneliti juga menemukan jumlah tertinggi dari penularan semacam itu berhubungan dengan penggunaan peralatan kesehatan campuran. Sebenarnya praktek ini tidak diperbolehkan. Sebagai contoh, peralatan pemantauan dan perawatan gula darah dengan peralatan yang digunakan kembali bisa menjadi medium penularan virus hepatitis B antarpasien.
Dokter L.A. Lesmana Ph, D., Sp PD, KGEH, FACP, FACG, dari Departemen Penyakit Dalam RSCM, mengatakan di Indonesia peralatan medis jarang digunakan ulang. �Selain itu, semua peralatan yang digunakan bagi para penderita hepatitis B sudah dipisahkan, jadi sudah ada upaya pencegahan yang dilakukan agar infeksi melalui peralatan ini tidak terjadi,� kata Lesmana. Hepatitis B merupakan bentuk peradangan atau pembengkakan pada hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B. �Penyakit ini telah menyerang hampir 13 juta penduduk Indonesia, sehingga kasus di Indonesia bisa dikategorikan dalam kelompok sedang menuju ke tinggi. Dalam tingkat lanjut hepatitis B bisa menjadi sirosis atau kanker hati,� terang dokter Lesmana.
Ada dua garis besar cara penularan penyakit ini. Pertama, penularan secara vertikal, ibu yang sebelumnya telah mengidap virus hepatitis B menularkan pada bayinya. Cara penularan yang kedua adalah horizontal. Penularan ini bisa terjadi akibat penggunaan alat suntik ataupun tindik yang sebelumnya sudah terinfeksi oleh virus hepatitis B. Penularan jenis horizontal ini juga bisa terjadi melalui penggunaan alat atau benda, seperti; pisau cukur, sikat gigi, dan sebagainya. �Penularan horizontal ini juga bisa terjadi melalui hubungan seksual,� kata dr Lesmana.
Ketika seseorang terinfeksi hepatitis B, virus tersebut akan beredar dalam darah menuju ke hati. Ketika virus ini berhasil masuk ke hati, virus tersebut akan masuk ke sel hati yang sehat, hingga akhirnya berkembang biak dan kemudia menyebar ke sel hati yang lain. �Ketika mekanisme pertahanan tubuh bertempur melawan virus hepatitis B, pada saat bersamaan, mekanisme tersebut juga membunuh sel hati yang terinfeksi,� ujar dr Lesmana.
Jika sel hati terbunuh akan mengakibatkan kerusakan hati sehingga tidak tidak lagi bisa bekerja sebagaimana mestinya. Hati merupakan organ penting yang memunyai banyak fungsi dalam sistem kekebalan tubuh, memproduksi faktor pembeku darah dan cairan empedu bagi pencernaan. Hati juga mengurai zat beracun yang masuk ke dalam tubuh. Penderita hepatitis B akan mengalami gejala sesuai dengan tingkat ketidaknormalan dalam fungsi ini. Gejala dan tanda dari hepatitis B kronis sangat berbeda dan tergantung pada tingkat keparahan kerusakan hati.

Tak terlihat
Pada beberapa kasus penderita umumnya tidak mengalami gejala atau tanda sampai beberapa tahun. Pada saat�saat itu, tes darah yang mereka lakukan menunjukkan hasil normal. Namun, tidak menutup kemungkinan, pada fase itu, penderita mengalami penurunan kondisi, yang ditandai dengan terjadinya pembengkakan pada hati. Bila ini dibiarkan, mereka bisa mengalami sirosis hati. Di sinilah kemudian gejala lanjutan akan muncul. Tubuh akan terasa lemah, pandangan berkunang-kunang, penurunan nafsu makan dan berat badan, pembesaran dada pada pria, ruam di telapak tangan, dan darah sukar membeku.
Kurangnya konsumsi atas vitamin A dan D juga bisa mengakibatkan komplikasi gejala yang lebih parah . Gejala itu berupa gangguan pengelihatan terutama pada malam hari dan penipisan tulang atau osteoporosis. Penderita sirosis hati juga beresiko mengalami infeksi karena hati memunyai peranan yang sangat penting dalam menstabilkan sistem kekebalan tubuh.
Pada kondisi tingkat lanjut, pasien yang mengalami sirosis hati juga akan mengalami gagal hati. Beberapa komplikasi pada orang yang mengalami kondisi ini adalah, terjadinya koma sebagai akibat hilangnya kemampuan hati untuk menghilangkan racun yang masuk dalam tubuh. Kondisi lain yang bisa terjadi adalah peningkatan tekanan dalam pembuluh darah hati. Akibatnya, terjadi penumpukan cairan di perut dan mungkin dihasilkan dalam urat penelan pada pipa pengunyah yang bisa dengan mudah robek dan menyebabkan pendarahan hebat.
Kondisi ini juga bisa mengakibatkan terjadinya gagal ginjal atau pembesaran limpa akibat pengurangan sel darah. Selanjutnya bisa terbentuk anemia yang bisa meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan pendarahan

Rabu, 13 April 2011

Tingkat Kesadaran
April 30, 2010
tags: apatis, delirium, koma, komposmentis, letargie, semi koma, somnolen, sopor, stupor
oleh panmedical

Komposmentis. Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.

Apatis. Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

Delirium. Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta

Somnolen (letargie). Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.

Sopor (Stupor). Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat (rangsang nyeri), tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawabab verbal dengan baik.

Semi Koma. Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflex (kornea, pupil) masih baik. Respon nyeri tidak adekuat.

Koma. Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak daa respon terhadap rangsang nyeri.
Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon Psikologis

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :


1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005)